Sabtu, 28 April 2012

Pengembangan Energi Sosial Kreatif


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Modal sosial merupakan unsur sangat penting dalam pencapaian tujuan suatu bangsa. Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa memerlukan sumber daya manusia (SDM) dalam perspektif modal sosial yang memiliki keunggulan prima dan memiliki kualitas tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan kompetensinya.  Modal sosial  yang besar harus dapat diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.   Tindakan yang cermat dan bijaksana harus dapat diambil dalam membekali dan mempersiapkan modal sosial, sehingga benar-benar menjadi aset pembangunan bangsa yang produktif dan bermanfaat serta berkualitas untuk pendampingan dalam proses pengembangan masyarakat. 
Proses pengembangan masyarakat berkelanjutan memerlukan tenaga pendamping yang berkualitas dan mampu memadukan konsep pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan modal sosial secara partisipatif. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan energi sosial budaya alam.


1.2 Permasalahan
            Adapun berbagai masalah yang muncul dari kajian ini adalah:
  1.  Nilai utama apakah yang terkait dalam konsep partisipasi dan pengembangan energi sosial budaya kreatif? 
  2.  Bagaimana konsep peningkatan kualitas pendamping pengembangan masyarakat dan faktor yang mempengaruhi kualitas pendamping/fasilitator  pemberdayaan masyarakat?


1.3 Tujuan
Secara umum, tujuan kajian ini adalah:
1)   Mengkaji konsep partisipasi dan pengembangan energi sosial budaya kreatif, dan
2)   Menganalisis konsep peningkatan kualitas pendamping pengembangan masyarakat dan faktor yang mempengaruhi kualitas pendamping/fasilitator  pemberdayaan masyarakat.



 
BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pentingnya Mengembangkan Energi Sosial Budaya Kreatif
  Kegiatan memberdayakan masyarakat berlangsung baik apabila ditempuh dengan mengembangkan potensi energi sosial kreatif ini. Pendekatan yang ditempuh dengan membuka wawasan para tokoh dan masyarakat pada umumnya melalui komunikasi dan penyebaran informasi tentang ide pemecahan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.  Energi sosial budaya kreatif meliputi tiga komponen utama, yaitu: ideals, ideas, dan friendship (Sumardjo 1992).
Terbukanya wawasan melalui proses komunikasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan ideals suatu kondisi yang diidealkan dan menjadi kebutuhan masyarakat untuk mewujudkannya. Ideals ini dapat menumbuhkan sikap positif terhadap upaya meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat, serta sikap positif ini dapat menumbuhkan motivasi intrinsik yang sangat kuat. Motivasi intrinsik ini mendorong upaya terwujudnya harapan atau ideals yang telah terbentuk dalam masyarakat.
 Terbukanya wawasan akan menumbuhkan inspirasi tentang ideas, yaitu gagasan bagaimana mewujudkan ide tersebut. Kejelasan harapan dan cara mewujudkan harapan tersebut, mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi solidaritas atau friendship untuk secara sinergis terjadi kerjasama diantara warga masyarakat.  Menurut Margono Slamet (Sumardjo 2008), prasyarat untuk terjadinya partisipasi meliputi tiga aspek, yaitu: adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan.
Masyarakat akan berpartisipasi dalam upaya bersama mewujudkan harapan bersama tersebut apabila terkondisi adanya prasyarat untuk terjadinya partisipasi berikut:
1.         Adanya kesempatan, yaitu adanya kesadaran masyarakat tentang peluang untuk dapat berpartisipasi.  Kesadaran bahwa harapan yang terbangun juga perlu dicapai, karena bila harapan tersebut tercapai masyarakat merasakan manfaat yang besar.
2.         Adanya kemauan, yaitu keinginan atau sikap positif terhadap harapan (ideals) dan terwujudnya harapan itu, sehingga sikap ini akan mendorong tindakan masyarakat untuk mewujudkan harapan bersama tersebut.
3.         Kemampuan, yaitu adanya kesadaran masyarakat bahwa dirinya merasa memiliki kemampuan untuk meraih kesempatan, serta dengan kemauan yang kuat untuk mewujudkan harapan tersebut. Kemampuan itu antara lain ditandai dengan kepemilikan keterampilan, tenaga, pikiran, dana dan materi untuk dapat berpartisipasi mewujudkan harapan masyarakat bersama.
Penyuluhan, pendampingan, fasilitator pemberdayaan, advokasi atau apapun bentuknya, disarankan tenaga pendamping yang berkualitas dan mampu memadukan konsep pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan modal sosial secara partisipatif. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan energi sosial budaya alam.
            Dengan demikian suatu program pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, didukung secara moral oleh masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat, serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan

2.2  Peningkatan Kualitas Pendamping Pengembangan Masyarakat
2.2.1 Peningkatan Kualitas Pendamping/Fasilitator
Agar lembaga penyuluhan atau komunikasi pembangunan berhasil, setidaknya ada empat kondisi yang dibutuhkan dan perlu dikembangkan dalam organisasi penyuluhan tersebut, yaitu: Kejelasan misi, Kejelasan Standar kompetensi profesi penyuluh/fasilitator pemberdaya/pendamping, Aktualisasi informasi/inovasi dan Penghayatan atas budaya organisasi penyuluhan/ pemberdaya masyarakat. Kejelasan misi yang dihayati bersama seluruh personil merupakan prasyarat bagi keberhasilan organisasi profesi pemberdaya masyarakat. Mengingat penyuluh/fasilitator pemberdaya adalah penentu keberhasilan organisasi penyuluhan, maka pengembangan aspek kompetensi penyuluh perlu menjadi perhatian organisasi penyuluhan/pemberdaya masyarakat dalam mengemban misi dan tugas-tugasnya, agar aktivitas dan program dapat lebih difokuskan pada pengembangan kompetensi warga masyarakat terkait yang sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan lingkungan. Penyuluh/fasilitator pemberdaya memiliki kebebasan atau otonomi untuk menentukan seberapa baik untuk mencapai visi dan mengemban misi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat, sehingga penyuluh perlu diberi kesempatan untuk akses informasi dan inovasi seluas-luasnya, sehingga dapat berkreasi secara kompeten.  Di India, Cyber Extension merupakan salah satu solusi yang terbaik untuk itu.
Mengingat penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai pelaku utama dalam komunikasi pembangunan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan wilayah kerjanya, maka budaya organisasi yang jelas perlu dikembangkan, misalnya menjunjung  nilai (value) berkomunikasi secara asertif, dialogis dan konvergen; mengemban tugasnya secara seimbang, adil dan beradab; berpikir/berorientasi global dalam mengelola sumber daya lokal; hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan sebagainya.
Organisasi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang berkiprah di dunia yang semakin modern tidak terhindar dari dituntutan kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi para penyuluh sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan sasaran penyuluhan/komunikasi pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan penetapan standar kompetensi bagi seorang penyuluh, agar kinerja penyuluhan dapat diprediksikan arah, dijamin kompetensi dan kinerjanya. 
Kompeten diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar).  Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh/pemberdaya setidaknya disusun berdasarkan dua hal, yaitu: 1) kebutuhan pembangunan masyarakat, dan 2) kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat.

2.2.2 Standar Kompetensi Pendamping/Fasilitator
Apa yang dimaksud standar kompetensi, standarisasi kompetensi dan sertifikasi kompetensi ?  Standar kompetensi adalah rumusan kemampuan yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas atau syarat jabatan. Dengan dikuasainya kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan mampu:
1.      mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan dengan terampil (baik);
2.      mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar (cermat);
3.      memahami apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula; dan
4.      memahami bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.
Standardisasi kompetensi adalah proses merumuskan, menetapkan dan memberlakukan, menerapkan dan meninjau kembali standar kompetensi. Sertifikat kompetensi adalah jaminan tertulis atas penguasaan kompetensi pada bidang dan jenjang profesi tertentu yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah diakreditasi.  Mengapa standarisasi kompetensi dibutuhkan ?
Manfaat kejelasan standar kompetensi ini adalah untuk institusi pendidikan dan pelatihan adalah:
1.      Memberikan informasi untuk pengembangan program dan kurikulum;
2.      Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan penilaian, dan sertifikasi.
            Kemudian, bagi dunia usaha/industri dan penggunaan tenaga kerja hal ini bermanfaat untuk:
1.      Membantu dalam rekruitmen tenaga kerja;
2.      Membantu penilaian unjuk kerja;
3.      Dipakai untuk membuat uraian jabatan; dan
4.      Untuk mengembangkan program pelatihan yang spesifik berdasarkan kebutuhan dunia usaha/industri/pertanian.
Di lain pihak standar kompetensi bermanfaat Untuk institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi, yaitu: 
1.      Sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan levelnya; dan
2.      Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelatihan penilaian dan sertifikasi
Kapan seorang penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai komunikator pembangunan dapat dikatagorikan sebagai penyuluh yang kompeten? Sesorang dikatakan sebagai Penyuluh yang kompeten apabila seseorang yang mampu (Sumardjo 2006):
1.      mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan penyuluhan dengan terampil untuk memberdayakan orang-orang dalam upaya meraih kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya;
2.      mengorganisasikan sistem penyuluhan sehingga efektif memfasilitasi masyarakat dengan cermat agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri;
3.      melakukan tindakan yang tepat bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana penyuluhan semula;
4.      bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh meski dengan kondisi yang berbeda (local specific); dan
5.      mampu mensinergikan kepentingan lokal dengan kepentingan yang lebih luas.



2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pendamping/Fasilitator
Pengukuran kompetensi penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat dapat dilihat dari dimensi-dimensi perilaku (behavior), seperti kognitif, afektif dan psikomotorik atau konatif.  Hasil dari implementasi kompetensi penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat tersebut merupakan kinerja (performance) penyuluh.  Pengukuran kompetensi bisa ditempuh dengan empat pendekatan, yaitu:
1.      mengamati langsung (observasi) perilaku penyuluh;
2.      wawancara terhadap menyuluh atas apa yang telah dilakukannya;
3.      mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tugas penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang mengetahui dengan baik sepak-terjang penyuluh/fasilitator pemberdaya dalam bertugas; dan
4.      Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan tugas penyuluh pada yang bersangkutan, misalnya atasan, kolega/teman sejawat, petani (pelaku utama), dan pengusaha (pelaku usaha).  Sedang pengukuran kinerja, dapat dilakukan melalui pengamatan hasil kerja penyuluh/fasilitator pemberdaya terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Penyuluh atau pendamping atau fasilitator pemberdaya masyarakat pada dasarnya adalah salah satu pelaku utama komunikasi pembangunan. Beberapa penelitian disertasi di beberapa tempat menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh pada dekade awal abad 21 terkait dengan tuntutan pembangunan saat itu, dinilai masih rendah.  Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian (disertasi) Jelamu Ardu Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur, Bambang Gatut (2008) di Jawa Barat, serta hasil penelitian behavioral penyuluh lainnya yaitu Herman Subagio (2008) tentang kapasitas petani di Jawa Timur (dalam Sumardjo 2008).
Rendahnya kompetensi penyuluh sebagai pelaku utama komunikasi pembangunan ini dikarenakan beberapa hal berikut:
1.      Sejalan dengan implementasi otonomi daerah terjadi melemahnya komitmen pemerintah terhadap penyuluhan. Pada beberapa Pemerintah Daerah kurang memiliki komitmen dukungan terhadap eksistensi dan pengembangan penyuluhan, sehingga kurang menstimulan terjadinya upaya pengembangan kompetensi para penyuluh.
2.      Kurang dukungan keberlanjutan pengembangan inovasi dari lembaga pelatihan bagi penyuluh yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan keterbatasan keinovatifan materi yang dibawakan oleh fasilitator dalam lembaga pelatihan bersangkutan yang terkait dengan kebutuhan pengembangan usahatani petani.
3.      Kurangnya dukungan inovasi berkelanjutan bagi penyuluh yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengembangan usahatani dan pemenuhan kebutuhan petani setempat pada saat itu.
4.      Perubahan paradigma pembangunan dari top down ke partisipatif, yang kurang disertai upaya pemberdayaan penyuluh secara memadai ke arah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut.
5.      Terdapat upaya peningkatan pendidikan formal pada penyuluh namun diduga kuat banyak di antaranya ditempuh melalui proses pembelajaran yang kurang bermutu terkait dengan peningkatan kualitas penyuluhan, karena terjebak pada tuntutan formalitas untuk penyesuaian ijazah dengan tingkatan jabatan fungsional penyuluh.
6.      Kurang jelasnya hubungan antara kompetensi penyuluh dengan perkembangan jenjang karir dan insentif bagi perkembangan kompetensi penyuluh.
7.      Belum adanya standar kompetensi bagi penyuluh, sehingga menjadi lemah dalam pengembangan kompetensi secara sistematis oleh pihak terkait, maupun dalam rekruitmen tenaga penyuluhan.





BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
 Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa memerlukan SDM yang memiliki keunggulan prima, manusia yang memiliki kualitas tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan kompetensinya.  Modal sosial yang besar harus dapat diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.  Upaya peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan energi sosial budaya kreatif.

3.2    SARAN
Dalam pembangunan berkelenjutan sangat diperlukan partisipasi pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan. Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga masyarakat harus aktif terlibat dalam proses pemberdayaan karena akan lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, ketrampilan seseorang, maka semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan. 








DAFTAR PUSTAKA

Putnam RD. 1995.  Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78.
Sumardjo. 1992.  Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timar”.  Yogyakarta: Gama Press. 
___________. 1999.  Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB.  Bogor.
___________. 2000.  Mencari Bentuk Pengembangan Sumberdaya Manusia Mandiri dalam Pertanian Berbudaya Industri di Era Globalisasi. Hasil Penelitian Hibah Bersaing Kerjasama IPB dengan Dirjen Dikti Depdiknas RI.  Bogor.
___________. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan dalam rapat koordinasi Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Batam.
___________. 2007.  Metoda Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat.  Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.


1 komentar: