BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Modal
sosial merupakan unsur sangat penting dalam pencapaian tujuan suatu bangsa. Dalam menyongsong era globalisasi dan era
lepas landas, setiap bangsa memerlukan sumber daya manusia (SDM) dalam
perspektif modal sosial yang memiliki keunggulan prima dan memiliki kualitas
tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan
kompetensinya. Modal sosial yang besar harus dapat diubah menjadi suatu
aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Tindakan yang cermat dan bijaksana harus dapat diambil dalam membekali
dan mempersiapkan modal sosial, sehingga benar-benar menjadi aset pembangunan
bangsa yang produktif dan bermanfaat serta berkualitas untuk pendampingan dalam
proses pengembangan masyarakat.
Proses pengembangan masyarakat berkelanjutan
memerlukan tenaga pendamping yang berkualitas dan mampu memadukan konsep
pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
dan modal sosial secara partisipatif. Oleh karena itu, upaya peningkatan
kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat
berkelanjutan perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek
pengembangan energi sosial budaya alam.
1.2 Permasalahan
Adapun berbagai masalah yang muncul dari
kajian ini adalah:
- Nilai utama apakah yang terkait dalam konsep
partisipasi dan pengembangan energi sosial budaya kreatif?
- Bagaimana konsep peningkatan kualitas pendamping pengembangan
masyarakat dan faktor yang mempengaruhi kualitas pendamping/fasilitator pemberdayaan masyarakat?
1.3 Tujuan
Secara umum, tujuan kajian
ini adalah:
1)
Mengkaji konsep partisipasi dan
pengembangan energi sosial budaya kreatif, dan
2)
Menganalisis konsep peningkatan kualitas pendamping
pengembangan masyarakat dan faktor yang mempengaruhi kualitas
pendamping/fasilitator pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pentingnya
Mengembangkan Energi Sosial Budaya Kreatif
Kegiatan memberdayakan masyarakat berlangsung baik apabila ditempuh
dengan mengembangkan potensi energi sosial kreatif ini. Pendekatan yang
ditempuh dengan membuka wawasan para tokoh dan masyarakat pada umumnya melalui
komunikasi dan penyebaran informasi tentang ide pemecahan masalah yang dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Energi sosial budaya kreatif
meliputi tiga komponen utama, yaitu: ideals, ideas, dan friendship (Sumardjo 1992).
Terbukanya wawasan melalui proses komunikasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan ideals suatu kondisi yang diidealkan dan
menjadi kebutuhan masyarakat untuk mewujudkannya. Ideals ini dapat menumbuhkan sikap positif terhadap upaya
meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan masyarakat, serta sikap positif ini
dapat menumbuhkan motivasi intrinsik yang sangat kuat. Motivasi intrinsik ini
mendorong upaya terwujudnya harapan atau ideals
yang telah terbentuk dalam masyarakat.
Terbukanya wawasan akan menumbuhkan inspirasi
tentang ideas, yaitu gagasan bagaimana mewujudkan ide tersebut.
Kejelasan harapan dan cara mewujudkan harapan tersebut, mendorong masyarakat
untuk memanfaatkan potensi solidaritas atau friendship
untuk secara sinergis terjadi kerjasama diantara warga masyarakat. Menurut Margono Slamet (Sumardjo 2008),
prasyarat untuk terjadinya partisipasi meliputi tiga aspek, yaitu: adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan.
Masyarakat akan berpartisipasi
dalam upaya bersama mewujudkan harapan bersama tersebut apabila terkondisi
adanya prasyarat untuk terjadinya partisipasi berikut:
1.
Adanya kesempatan, yaitu adanya
kesadaran masyarakat tentang peluang untuk dapat
berpartisipasi. Kesadaran bahwa harapan
yang terbangun juga perlu dicapai, karena bila harapan tersebut tercapai
masyarakat merasakan manfaat yang besar.
2.
Adanya kemauan, yaitu keinginan atau sikap positif terhadap
harapan (ideals) dan terwujudnya
harapan itu, sehingga sikap ini akan mendorong tindakan masyarakat untuk
mewujudkan harapan bersama tersebut.
3.
Kemampuan, yaitu adanya kesadaran masyarakat bahwa dirinya
merasa memiliki kemampuan untuk meraih kesempatan, serta dengan kemauan yang
kuat untuk mewujudkan harapan tersebut. Kemampuan itu antara lain ditandai
dengan kepemilikan keterampilan, tenaga, pikiran, dana dan materi untuk dapat
berpartisipasi mewujudkan harapan masyarakat bersama.
Penyuluhan,
pendampingan, fasilitator pemberdayaan, advokasi atau apapun bentuknya,
disarankan tenaga pendamping yang
berkualitas dan mampu memadukan konsep pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan modal sosial secara partisipatif.
Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas
pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan perlu dilaksanakan secara
spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan energi sosial budaya alam.
Dengan demikian
suatu program pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, didukung
secara moral oleh masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat, serta memenuhi
kebutuhan dan kepentingan
2.2 Peningkatan
Kualitas Pendamping Pengembangan Masyarakat
2.2.1 Peningkatan Kualitas Pendamping/Fasilitator
Agar lembaga penyuluhan atau
komunikasi pembangunan berhasil, setidaknya ada empat kondisi yang dibutuhkan
dan perlu dikembangkan dalam organisasi penyuluhan tersebut, yaitu: Kejelasan
misi, Kejelasan Standar kompetensi profesi penyuluh/fasilitator pemberdaya/pendamping,
Aktualisasi informasi/inovasi dan Penghayatan atas budaya organisasi
penyuluhan/ pemberdaya masyarakat. Kejelasan misi yang dihayati bersama seluruh
personil merupakan prasyarat bagi keberhasilan organisasi profesi pemberdaya
masyarakat. Mengingat penyuluh/fasilitator pemberdaya adalah penentu
keberhasilan organisasi penyuluhan, maka pengembangan aspek kompetensi
penyuluh perlu menjadi perhatian organisasi penyuluhan/pemberdaya masyarakat
dalam mengemban misi dan tugas-tugasnya, agar aktivitas dan program dapat lebih
difokuskan pada
pengembangan kompetensi warga masyarakat terkait yang sesuai dengan
perkembangan tuntutan kebutuhan lingkungan. Penyuluh/fasilitator pemberdaya
memiliki kebebasan atau otonomi untuk menentukan seberapa baik untuk mencapai visi dan mengemban misi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat, sehingga
penyuluh perlu diberi kesempatan untuk akses informasi dan inovasi
seluas-luasnya, sehingga dapat berkreasi secara kompeten. Di India, Cyber
Extension merupakan salah satu solusi yang terbaik untuk itu.
Mengingat
penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai pelaku utama dalam komunikasi
pembangunan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan wilayah kerjanya, maka
budaya organisasi yang jelas perlu dikembangkan, misalnya menjunjung nilai (value) berkomunikasi secara asertif,
dialogis dan konvergen; mengemban tugasnya secara seimbang, adil dan beradab;
berpikir/berorientasi
global dalam mengelola sumber daya lokal; hari esok harus lebih baik dari hari
ini, dan sebagainya.
Organisasi penyuluhan/pemberdayaan
masyarakat yang berkiprah di dunia yang semakin modern tidak terhindar dari
dituntutan kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi para penyuluh sesuai dengan
perkembangan tuntutan kebutuhan sasaran penyuluhan/komunikasi pembangunan. Oleh
karena itu, diperlukan penetapan standar kompetensi bagi seorang penyuluh, agar
kinerja penyuluhan dapat diprediksikan arah, dijamin kompetensi
dan kinerjanya.
Kompeten diartikan sebagai
kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai
dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar).
Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh/pemberdaya setidaknya disusun
berdasarkan dua hal, yaitu: 1) kebutuhan pembangunan masyarakat, dan 2)
kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan
fungsi (TUPOKSI) penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat.
2.2.2 Standar Kompetensi Pendamping/Fasilitator
Apa yang dimaksud standar
kompetensi, standarisasi kompetensi dan sertifikasi kompetensi ? Standar kompetensi adalah rumusan kemampuan
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian, serta sikap
kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas atau syarat jabatan. Dengan
dikuasainya kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan
mampu:
1.
mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan
dengan terampil (baik);
2.
mengorganisasikannya agar pekerjaan
tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar (cermat);
3.
memahami apa yang harus dilakukan
bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula; dan
4. memahami bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan
masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda.
Standardisasi kompetensi adalah
proses merumuskan, menetapkan dan memberlakukan, menerapkan dan meninjau
kembali standar kompetensi. Sertifikat kompetensi adalah jaminan tertulis atas
penguasaan kompetensi pada bidang dan jenjang profesi tertentu yang diberikan
oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah diakreditasi. Mengapa standarisasi kompetensi dibutuhkan ?
Manfaat
kejelasan standar kompetensi ini adalah untuk institusi pendidikan dan
pelatihan adalah:
1.
Memberikan informasi untuk pengembangan
program dan kurikulum;
2.
Sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pelatihan penilaian, dan sertifikasi.
Kemudian,
bagi dunia usaha/industri dan
penggunaan tenaga kerja hal ini bermanfaat untuk:
1.
Membantu dalam rekruitmen tenaga kerja;
2.
Membantu penilaian unjuk kerja;
3.
Dipakai untuk membuat uraian jabatan; dan
4.
Untuk mengembangkan program pelatihan
yang spesifik berdasarkan kebutuhan dunia
usaha/industri/pertanian.
Di lain pihak standar kompetensi bermanfaat Untuk institusi penyelenggara pengujian dan
sertifikasi, yaitu:
1.
Sebagai acuan dalam merumuskan
paket-paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan levelnya; dan
2.
Sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pelatihan penilaian dan sertifikasi
Kapan seorang penyuluh/pemberdaya
masyarakat sebagai komunikator pembangunan dapat dikatagorikan sebagai
penyuluh yang kompeten? Sesorang dikatakan sebagai
Penyuluh yang kompeten apabila seseorang yang mampu (Sumardjo 2006):
1.
mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan
penyuluhan dengan terampil untuk memberdayakan orang-orang dalam upaya meraih
kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya;
2.
mengorganisasikan sistem penyuluhan
sehingga efektif memfasilitasi masyarakat dengan cermat agar masyarakat dapat
memenuhi kebutuhannya secara mandiri;
3.
melakukan tindakan yang tepat bilamana
terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana penyuluhan semula;
4.
bagaimana menggunakan kemampuan yang
dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugasnya sebagai
penyuluh meski dengan kondisi yang berbeda (local specific); dan
5.
mampu mensinergikan kepentingan
lokal dengan kepentingan yang lebih luas.
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pendamping/Fasilitator
Pengukuran kompetensi
penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat dapat dilihat dari dimensi-dimensi
perilaku (behavior), seperti
kognitif, afektif dan psikomotorik atau konatif. Hasil dari implementasi
kompetensi penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat tersebut merupakan
kinerja (performance)
penyuluh. Pengukuran kompetensi bisa
ditempuh dengan empat pendekatan, yaitu:
1.
mengamati langsung (observasi) perilaku penyuluh;
2.
wawancara terhadap menyuluh atas apa
yang telah dilakukannya;
3.
mewawancarai pihak-pihak yang terkait
dengan pelaksanaan tugas penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang mengetahui
dengan baik sepak-terjang penyuluh/fasilitator pemberdaya dalam bertugas; dan
4.
Focus Group Discussion (FGD) dengan pihak-pihak terkait
dengan pelaksanaan tugas penyuluh pada yang bersangkutan, misalnya atasan,
kolega/teman sejawat, petani (pelaku utama), dan pengusaha (pelaku usaha). Sedang pengukuran kinerja, dapat dilakukan
melalui pengamatan hasil kerja penyuluh/fasilitator pemberdaya terkait dengan
pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Penyuluh atau pendamping atau
fasilitator pemberdaya masyarakat pada dasarnya adalah salah satu pelaku utama
komunikasi pembangunan. Beberapa penelitian disertasi di beberapa tempat
menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh pada dekade awal abad 21 terkait dengan
tuntutan pembangunan saat itu, dinilai masih rendah. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian
(disertasi) Jelamu Ardu Marius (2007) di Nusa Tenggara Timur, Bambang Gatut
(2008) di Jawa Barat, serta hasil penelitian behavioral penyuluh lainnya yaitu
Herman Subagio (2008) tentang kapasitas petani di Jawa Timur (dalam Sumardjo 2008).
Rendahnya kompetensi penyuluh
sebagai pelaku utama komunikasi pembangunan ini dikarenakan beberapa hal
berikut:
1. Sejalan dengan implementasi otonomi daerah terjadi melemahnya komitmen
pemerintah terhadap penyuluhan. Pada beberapa Pemerintah Daerah kurang memiliki
komitmen dukungan terhadap eksistensi dan pengembangan penyuluhan, sehingga
kurang menstimulan terjadinya upaya pengembangan kompetensi para penyuluh.
2. Kurang dukungan keberlanjutan pengembangan inovasi dari lembaga pelatihan
bagi penyuluh yang disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan keterbatasan
keinovatifan materi yang dibawakan oleh fasilitator dalam lembaga pelatihan
bersangkutan yang terkait dengan kebutuhan pengembangan usahatani petani.
3. Kurangnya dukungan inovasi berkelanjutan bagi penyuluh yang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pengembangan usahatani dan pemenuhan kebutuhan petani
setempat pada saat itu.
4. Perubahan paradigma pembangunan dari top
down ke partisipatif, yang kurang disertai upaya pemberdayaan penyuluh
secara memadai ke arah yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut.
5. Terdapat upaya peningkatan pendidikan formal pada penyuluh namun diduga
kuat banyak di antaranya ditempuh melalui proses pembelajaran yang kurang
bermutu terkait dengan peningkatan kualitas penyuluhan, karena terjebak pada
tuntutan formalitas untuk penyesuaian ijazah dengan tingkatan jabatan fungsional
penyuluh.
6. Kurang jelasnya hubungan antara kompetensi penyuluh dengan perkembangan
jenjang karir dan insentif bagi perkembangan kompetensi penyuluh.
7. Belum adanya standar kompetensi bagi penyuluh, sehingga menjadi lemah dalam
pengembangan kompetensi secara sistematis oleh pihak terkait, maupun dalam
rekruitmen tenaga penyuluhan.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa
memerlukan SDM yang memiliki keunggulan prima, manusia yang memiliki kualitas tinggi yaitu di
samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan
kompetensinya. Modal sosial yang besar
harus dapat diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan
bangsa. Upaya peningkatan kapasitas
modal sosial dan kualitas pendamping pengembangan masyarakat berkelanjutan
perlu dilaksanakan secara spesifik lokasi dan mengedepankan aspek pengembangan
energi sosial budaya kreatif.
3.2
SARAN
Dalam pembangunan berkelenjutan
sangat diperlukan partisipasi pengembangan kemandirian dan
proses pemberdayaan. Partisipasi masyarakat merupakan jaminan terwujudnya
pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga masyarakat harus aktif terlibat dalam proses pemberdayaan karena
akan lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya
untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk
mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, ketrampilan seseorang,
maka semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan.
DAFTAR
PUSTAKA
Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social
capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78.
Sumardjo. 1992. Pembangunan dan Kemiskinan di Timor Tengah
Selatan. Dalam Sayogyo (penyunting) “Pembangunan dan Kemiskinan di Propinsi
Nusa Tenggara Timar”. Yogyakarta: Gama
Press.
___________. 1999. Transformasi Model Penyuluhan
Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
___________. 2000. Mencari Bentuk Pengembangan
Sumberdaya Manusia Mandiri dalam Pertanian
Berbudaya Industri di Era Globalisasi. Hasil Penelitian Hibah Bersaing
Kerjasama IPB dengan Dirjen Dikti Depdiknas RI. Bogor.
___________. 2006. Kompetensi Penyuluh. Makalah disampaikan dalam rapat koordinasi
Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional, Batam.
___________. 2007. Metoda Partisipatif dalam Pengembangan
Masyarakat. Magister
Profesional Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.